Senin, 29 Juli 2013

HUKUM SHALAT DAN BERSUCI BAGI ORANG SAKIT

Oleh : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz


Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sha-lawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada nabi

dan rasul yang termulia, nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga serta segenap para shahabatnya, wa

ba‘du:

Berikut ini adalah uraian singkat yang berhu-bungan dengan beberapa hukum bersuci dan shalat bagi

orang sakit.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kewa-jiban bersuci untuk setiap shalat,

karena sesungguh-nya menghilangkan hadats dan najis, baik pada tu-buh, pakaian atau tempat shalat,

keduanya merupa-kan bagian dari syarat-syarat sahnya shalat. Maka apabila seorang muslim hendak

melakukan shalat, ia wajib berwudhu (bersuci) dari hadats kecil, atau mandi terlebih dahulu jika ia

berhadats besar. Dan sebelum berwudhu ia harus beristinja’ (bersuci) dengan air atau beristijmar

dengan batu jika kencing atau buang air besar, agar kesucian dan kebersihan menjadi sempurna.

16

Dan berikut ini uraian tentang berapa hukum yang berkaitan dengan hal di atas:

Bersuci dengan air dari apa saja yang keluar dari qubul atau dubur, seperti air kencing atau berak adalah

wajib.

Dan tidak diwajibkan (kepada seseorang) ber-istinja karena tidur atau keluar angin (kentut), yang wajib

baginya adalah berwudlu. Sebab, istinja’ itu disyari‘atkan untuk menghilangkan najis. Sementara, tidur

dan keluar angin itu tidak ada najis.

Istijmar adalah pengganti istinja (bersuci) de-ngan air. Dan istijmar dengan batu atau sesuatu yang

serupa dengannya. Dalam beristijmar harus meng-gunakan tiga buah batu yang suci dan bersih, sebab

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadits shahihnya bersabda:

"Barangsiapa beristijmar hendaklah ia mengganjilkannya".

Dan beliu juga bersabda:

"Apabila seorang diantara kalian pergi kebela-kang untuk buang air besar, maka hendaklah membawa

tiga batu, karena sesungguhnya hal itu cukup baginya" (HR. Abu Daud).

Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melarang beristijmar dengan kurang dari tiga batu,

sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Tidak boleh beristijmar dengan kotoran (manusia atau hewan), tulang atau makanan, atau apa saja yang

haram.

Afdhalnya adalah beristijmar dengan batu atau apa saja yang serupa dengannya, seperti tissue dan

lain-lain, kemudian diakhiri dengan air. Karena batu berfungsi menghilangkan materi najis, sedangkan

air mensucikan tempat (najis). Maka yang demikian ini lebih suci.

Seseorang boleh memilih antara beristinja’ dengan air atau beristijmar dengan batu dan benda yang

serupa dengannya, atau menggabungkan antara keduanya.

Dari Anas radhiyallahu ’anhu bahwa dia berkata:

"Bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah masuk ke jamban, dan aku bersama anak

sebaya denganku memba-wa bejana berisi air dan tongkatnya. Maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam

beristinja dengan air itu". (Muttafaq alaih).

Dan dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anhu bahwa ia berkata kepada sekelompok orang: "Suruhlah

suami-suami kalian ber-suci dengan air, karena sesungguhnya aku malu kepada mereka, dan

sesungguhnya Rasulullah radhiyallahu ’anhu selalu melakukannya". Imam At-Tirmidzi mengatakan

bahwa hadits ini shahih".

17

Apabila memilih salah satunya, maka (dengan) air itu lebih afdhal, karena air dapat mensucikan tempat

(najis) dan menghilangkan materi dan bekas najis. Air itu lebih sempurna dalam membersihkan. Dan

seandainya memilih bersuci dengan mengguna-kan batu, maka boleh dengan syarat menggunakan tiga

batu yang dapat membersihkan tempat (najis).

Jika tiga batu tidak cukup untuk (membersih-kan), maka ditambah satu atau dua lagi hingga tempat

najis benar-benar bersih. Dan afdhalnya disudahi dengan hitungan ganjil, karena Nabi shallallahu ’alaihi

wasallam bersabda:

"Barangsiapa beristijmar hendaklah mengganjilkan".

Dan tidak boleh beristijmar dengan tangan kanan, karena Salman berkata di dalam haditsnya:

"Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah melarang siapa saja dari kami beristinja dengan tangan

kanan".

Dan beliau bersabda:

" Jangan ada seorang di antara kamu memegang kemaluannya dengan tangan kanan di saat ia kencing,

dan jangan pula mengusap (meng-lap) setelah buang air besar dengan tangan kanan".

Jika tangannya patah atau sakit atau karena hal lain, maka boleh beristijmar dengan tangan kanan,

karena terpaksa, dan tidak apa-apa. Jika bersuci dengan melakukan keduanya, istijmar dan istinja

dengan air, maka yang demikian itu lebih afdhal dan lebih sempurna.

Ajaran Islam (Syari‘at Islam) dibangun berlan-dasan kemudahan dan keringanan, maka dari itulah Allah

memberikan keringanan bagi orang-orang yang mempunyai udzur di dalam peribadatan sesuai dengan

udzurnya, sehingga mereka dapat beribadah kepada-Nya tanpa kesulitan. Allah Ta’ala berfirman:

"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". (Al-Hajj: 78).

Dan firmanNya:

"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu". (Al-Baqarah:

185).

Dan firmanNya:

"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut kesanggupanmu". (At-Taghabun:16).

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

18

"Apabila aku perintah kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian".

Dan beliau juga bersabda:

"Sesungguhnya agama itu mudah".

Orang sakit, apabila ia tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air, seperti berwudhu dari

hadits kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau khawatir akan bertambah parah atau

kesembuhannya akan tertunda, maka ia boleh ber-tayammum, yaitu menepukkan kedua telapak tangan

ke tanah yang suci satu kali, lalu menyapu mukanya dengan telapak jari-jari dan kedua tangan dengan

telapak tangannya; karena Allah berfirman:

"Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari

tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka

bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu de-ngan tanah itu.

(Al-Ma‘idah: 6).

Orang yang tidak mampu menggunakan air kedudukannya (hukumnya) sama dengan kedudukan orang

yang tidak memperoleh air, karena firman Allah Ta’ala:

"Bertaqwalah kalian kepada Allah menurut ke-mampuan kalian". (At-Taghabun: 16).

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam kepada Ammar bin Yasir:

"Sesungguhnya cukup bagimu melakukan dengan kedua tanganmu seperti ini". Rasulullah shallallahu

’alaihi wasallam sam-bil menepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu menyapukannya ke muka

dan kedua telapak tangannya.

Dan tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah bersih yang berdebu.

Dan tayamum tidak sah kecuali dengan niat, karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya amal ibadah itu (tergantung) dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan

mendapat (pahala atau tidak) sesuai de-ngan niatnya".

Ada beberapa kondisi orang sakit dalam hal bersuci:

1. Apabila sakitnya ringan dan tidak dikhawatir-kan akan bertambah parah jika menggunakan air, atau

penyakitnya tidak mengkhawatirkan dan tidak memperlambat proses penyembuhannya, atau tidak

menambah rasa sakit, atau penyakit yang serius seperti pusing, sakit gigi atau penyakit lainnya yang

serupa; atau orang sakit itu masih dapat mengguna-kan air hangat dan tidak berbahaya karenanya, maka

dalam kondisi seperti itu ia tidak boleh bertayamum. Sebab tayamum itu dibolehkan untuk menghindari

19

bahaya, padahal dalam kondisi seperti ini tidak ada sesuatu yang membahayakan; dan karena ia juga

memperoleh air. Dengan demikian, ia wajib meng-gunakan air.

2. Jika ia mengidap penyakit yang dapat mem-bahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu

anggota tubuhnya, atau penyakit yang mengkha-watirkan akan timbulnya penyakit lain yang dapat

membahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu anggota tubuhnya atau mengkhawatirkan

hilang-nya manfa‘at, maka dalam kondisi seperti ini ia boleh bertayamum, karena Allah berfirman:

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, se-sungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu".

(An-Nisa’: 29).

3. Jika ia mengidap penyakit yang membuatnya tidak dapat bergerak. Sementara, tidak ada orang yang

mengantarkan air kepadanya, maka boleh bagi-nya bertayamum. Kalau dia tidak dapat bertayamum,

maka ditayamumkan oleh orang lain. Dan jika tubuh, pakaian atau tempat tidurnya terkena najis,

sementara ia tidak mampu menghilangkan atau bersuci darinya, maka ia diperbolehkan melakukan

shalat dalam keadaan seperti itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menu-rut kemampuan kalian".

Dan tidak boleh baginya menunda waktu shalat dalam keadaan bagaimanapun atau disebabkan

keti-dakmampuannya bersuci atau menghilangkan najis.

4. Bagi orang yang luka parah, berbisul, patah tulang atau penyakit apa saja yang dapat mem-bahayakan

dirinya bila menggunakan air, lalu junub, maka boleh bertayamum, karena dalil-dalil di atas; akan tetapi

jika ia memungkinkan untuk mencuci bagian yang sehat dari tubuhnya, maka mencuci yang demikian

itu wajib dan bagian yang lain disucikan dengan tayamum.

5. Apabila si sakit berada di suatu tempat yang tidak ada air dan tanah dan tidak ada orang yang

mendatangkan kepadanya, maka harus shalat (tanpa wudhu atau tayamum), dan tidak ada alasan

baginya untuk menunda waktu shalat, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

"Maka bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kemampuan kalian".

6. Bagi orang yang menderita penyakit beser (kencing terus menerus) atau pendarahan yang

terus-menerus atau selalu buang angin, sedangkan pengobatan tidak pernah menyembuhkannya, maka ia

wajib berwudhu pada setiap kali shalat sesudah masuk waktu, dan mencuci bagian tubuh atau pakaian

yang terkena kotorannya, atau memakai pakaian bersih pada setiap kali shalat, jika hal itu

memungkinkan; sebab Allah telah berfirman:

"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Al-Haj: 78).

Dan firmanNya:

"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian".

(Al-Baqarah: 185).

Dan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam:

20

"Apabila aku perintah kalian melakukan suatu perkara, maka lakukanlah ia menurut kemam-puan

kalian".

Dan hendaklah ia mengambil sikap hati-hati untuk mencegah tersebarnya air seni atau darah ke pakaian,

tubuh atau tempat shalatnya.

Dan diperbolehkan baginya sesudah shalat hingga habis waktunya untuk melakukan shalat sunnat apa

saja atau membaca Al-Qur‘an. Lalu apabila waktu telah habis, wajib berwudhu’ lagi atau ber-tayamum

jika tidak dapat berwudhu’, karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menyuruh wanita yang

menderita istihadhah (keluar darah terus menerus dari rahim-nya selain darah haid) agar berwudhu’

pada setiap kali akan shalat wajib. Adapun air seni atau darah yang keluar pada waktu itu tidak apa-apa

asalkan ia berwudhu’ sesudah masuk waktu (shalat).

Jika pada anggota tubuh ada yang masih dibalut (pada anggota wudhu atau tubuh) maka cukup

mengusap di atas pembalut tersebut pada saat berwudhu’ atau mandi dan mencuci bagian anggota yang

lainnya. Namun jika mengusap pembalut atau mencuci anggota yang dibalut itu membahayakan, maka

cukup bertayamum pada tempat itu dan bagian yang tersisa dari anggota yang berbahaya bila dicuci.

Tayamum batal dengan setiap hal yang mem-batalkan wudhu’ atau karena adanya kemampuan untuk

menggunakan air atau karena adanya air, jika sebelumnya tidak ada air. Wallahu a‘lam.

TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT:

Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hen-daknya

shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi

tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di

atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring mi-ring, maka ia

boleh shalat dengan berbaring telen-tang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam kepada

‘Imran bin Hushain:

"Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak

mampu, maka dengan berbaring". (HR. Bukhari).

Dan Imam An-Nasa’i menambahkan:

"... lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang".

Dan barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku‘ atau sujud, maka kewajiban berdiri

tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu ruku’ dengan isyarat (menundukkan kepala),

kemudian duduk dan sujud dengan berisya-rat; karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

"...Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu’.‘". (Al-Baqarah: 238).

21

Dan sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam:

"Shalatlah kamu sambil berdiri".

Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menu-rut kesanggupanmu". (At-Taghabun: 16).

Dan jika pada matanya terdapat penyakit, se-mentara para ahli kedokteran yang terpercaya menga-takan:

"Jika kamu shalat bertelentang lebih memu-dahkan pengobatanmu", maka boleh shalat telentang.

Barangsiapa tidak mampu ruku‘ dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala pada

saat ruku’ dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku‘.

Dan jika hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku‘ (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat.

Jika ia tidak dapat membungkukkan pung-gungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan jika

punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku‘, maka apabila hendak ruku‘, ia

lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semam-punya

hingga mukanya lebih mendekati tanah se-mampunya.

Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat de-ngan kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan

kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar

(ber-akal), karena dalil-dalil tersebut di atas.

Dan apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan

sebelumnya, seperti berdiri, ruku‘, sujud atau ber-isyarat dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya

(melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut.

Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melaku-kan shalat atau karena lainnya, ia wajib menunaikan-nya

di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh menundanya kepada waktu berikutnya.

Seba-gaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam:

"Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia menunaikannya pada saat ia

ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu". Lalu beliau mem-baca firman Allah: "dan

dirikanlah shalat untuk mengingatKu". (Thaha: 14).

Tidak boleh meninggalkan shalat dalam keada-an bagaimanapun; bahkan setiap mukallaf wajib

bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia sehat.

Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia

masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib menunai-kan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan

apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedang-kan ia sadar (masih berakal) lagi mukallaf serta

mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa.

Bahkan ada sebagian dari para Ahlul ‘ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi

shallallahu ’alaihi wasallam:

22

"Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya

maka kafirlah ia".

Dan sabdanya:

"Pokok segala perkara adalah Al-Islam, tiangnya Islam adalah shalat dan puncak Islam adalah jihad di

jalan Allah"

Begitu pula sabda beliau shallallahu ’alaihi wasallam:

"(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat"

(HR. Muslim di dalam Shahih-nya).

Dan pendapat ini yang lebih shahih, sebagai-mana yang dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an

tentang shalat dan hadits-hadits tersebut.

Dan jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara shalat

Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’, baik jama’ taqdim maupun jama’

ta’khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan shalat Asharnya digabung dengan

shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki,

boleh mema-jukan Isya’ bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya’. Adapun shalat

Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama’ dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena

waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya.

Inilah hal-hal yang berhubungan dengan orang sakit dalam bersuci dan melakukan shalat.

Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. semoga menyembuhkan orang-orang sakit dari

kaum muslim dan menghapus dosa-dosa mereka, dan mengaruniakan ma‘af dan afiat kepada kita semua

di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

TERJEMAHKAN